Saturday, March 26, 2011

Pemberontakan Diindonesia

PEMBERONTAKAN DI INDONESIA
1945-2009

Sesuai definisi pada bab sebelumnya, maka pemberontakan yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 64 tahun(1945-2009) dapat dirinci sebagai berikut:
DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
Pemberontakan PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
Gerakan APRA(Angkatan Perang Ratu Adil)
PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
Pemberontakan Andi Aziz (Andi Aziz Affair)
Gerakan Republik Maluku Selatan(RMS)
Gerakan 30 September 1965 PKI
Terorisme dan peledakan bom disejumlah daerah


Pemberontakan-pemberontakan diatas terjadi dalam kurun waktu 1945-2009. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis hanya mengambil beberapa sampel pemberontakan saja dari setiap orde pemerintahan, antara lain:

Orde Lama(1945-1965)
- DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
- Pemberontakan PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
- PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta)
- Gerakan 30 September 1965 PKI
Orde Revormasi(1998-sekarang)
-Terorisme dan peledakan bom disejumlah daerah




A. DI/TII(DAARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA)
Salah satu pemberontakan paling besar yang pernah terjadi di tanah air adalah DI/TII(DAARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA). Gerakan ini dipelopori dan dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan ini bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia(NII).
Pemberontakan berawal dari Jawa Barat. Kartosuwiryo dalam maklumatnya yang dibacakan beberapa saat setelah pembacaan Proklamasi Negara Islam Indonesia7 menyatakan dengan tegas menolak konsepsi Pancasila8. Pemberontakan kemudian meluas hingga Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Para pemimpinnya, selain Kartosuwiryo(Jawa Barat), terdapat pula Amir Fattah(Jawa Tengah), Daud beureueh(Aceh), Abdul Kahhar Muzakkar(Sulawesi Selatan), dan Ibnu Hadjar(Kalimantan Selatan).

1.DI/TII JAWA BARAT
Gerakan DI/TII Jawa Barat bermula ketika ditandatanganinya persetujuan perjanjian Renville pada 17 Januari 1848. Akibat dari persetujuan itu, wilayah Indonesia yang diakui Belanda semakin sempit dan pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah-wilayah yang dikuasainya hingga terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat(RIS). Selain wilayah kedaulatan RI berkurang, tentara gerilyawan RI yang berada diluar garis demarkasi Van Mook harus ditarik mundur.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan pasukannya yang terdiri atas Hizbullah dan Sabilillah menolak persetujuan Renville. Ia menolak untuk memundurkan pasukannya ke Jawa Tengah dan sejak saat itu ia tidak lagi mengakui keberadaan RI. Ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Gerakan ini kemudian melakukan kekacauan di Jawa Barat. Pasukan DI/TII secara paksa menarik sumbangan dari rakyat. Namun karena rakyat saat itu sedang kesulitan ekonomi, pasukan DI/TII kemudian menjarah rumah-rumah penduduk. Untuk mengatasi serangan pemerintah RI, DI/TII menggunakan strategi grilya.
Pemerintah akhirnya melakukan kerja sama dengan penduduk setempat untuk melawan pemberontakan ini dan menunjuk Ibrahim Adjie sebagai penanggung jawab strategi, yaitu membantu ABRI dengan cara mengepung pasukan DI/TII dari segala penjuru.
Pada tanggal 1 April 1962, dilancarkan operasi Bharatayudha untuk menumpas DI/TII Kartosuwiryo. DI/TII semakin terdesak dan satu-persatu komandannya menyerahkan diri. Pada tanggal 4 Juni 1962, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ia sempat mengajukan grasi kepada Presiden, namun ditolak.

2.DI/TII JAWA TENGAH
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fattah di seputar wilayah Brebes-Tegal. Ia awalnya adalah orang yang loyal terhadap RI, namun seperti Kartosuwiryo, ia kemudian berbalik memberontak dan bergabung dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo pada 23 Agustus 1949. Pasukan Amir Fattah, yang kemudian diubah namanya menjadi Tentara Islam Indonesia(TII) dengan julukan Batalyon Syarif Hidayat Widjaja Kusuma.
Selain di wilayah Brebes-Tegal, dibagian selatan Jawa Tengah, Kebumen juga melakukan pemberontakan. Dipimpin oleh Muhammad Mahfudh Abdurrahman atau dikenal dengan nama Kiai Sumolangu, pemberontakan ini juga mengadakan kontak dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo dengan tujuan yang sama pula, mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini dilumpuhkan oleh TNI pada tahun 1954 melalui operasi Guntur.

3.DI/TII SULAWESI SELATAN
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Kahhar Muzakkar. Latar belakang pemberontakan di Sulawesi Selatan berbeda dengan pemberontakan di daerah lain seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada mulanya, Abdul Kahhar Muzakkar adalah seorang komandan tentara RI Persiapan Resimen Hasanuddin di Yogyakarta dengan pangkat kolonel. Kemudian ia menggagas pembentukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS).
Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS) beserta laskar-laskar dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ini yang bergerilya di Sulawesi Selatan selama perang kemerdekaan berlangsung. Setelah perang kemerdekaan selesai, pemerintah mengeluarkan kebijakan nasionalisasi laskar-laskar. Dalam nasionalisasi ini, setiap laskar harus melalui seleksi. Namun tak semua laskar dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan memenuhi syarat. Sedangkan Abdul Kahhar menginginkan semua laskar Komando Gerilya Sulawesi Selatan masuk dalam daftar anggota APRIS. Pemerintah tetap tidak mau mengabulkan permintaan Abdul Kahhar.
Pada Agustus 1951, Abdul Kahhar melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan dan persenjataaan yang diperoleh dari pasukannya. Kemudian ia menerima tawaran Kartosuwiryo untuk memegang pimpinan TII wilayah Sulawesi Selatan. Pada 7 Agustus 1953, Abdul Kahhar resmi bergabung dengan DI/TII Jawa Barat.
Pemerintah setelah mengetahui Abdul Kahhar bergabung dengan DI/TII segera melancarkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. Operasi ini memakan waktu lebih dari empatbelas tahun. DI/TII Sulawesi Selatan baru benar-benar tumpas pada tahun1965.
Pada Februari 1965, Abdul Kahhar Muzakkar tertembak mati dalam kontak senjata dengan pasukan RI.

4. DI/TII ACEH
Pemberontakan DI/TII Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah seorang ulama terkenal Aceh saat itu. Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi perbedaan pendapat antara kaum alim ulama Aceh dengan para bangsawan(uleebalaang).
Akhirnya pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan pertentangan tersebut supaya tidak terjadi perang saudara. Pemerintah kemudian membentuk Aceh sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Lalu diangkatlah Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh.
Namun dalam rangka menyederhanakan administrasi negara, Sukarno pada tahun 1950 menurunkan status Aceh sebagai wilayah karisidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dengan keputusan ini karena selama perang kemerdekaan tidak sedikit bantuan yang diberikan rakyat Aceh untuk negara.
Maka pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan Kartosuwiryo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta.
Selama pergerakannya, Daud Beureueh melakukan propaganda-propaganda yang isinya menjelek-jelekkan pemerintah Jakarta kepada rakyat Aceh. Oleh karena itu, seperti di daerah-daerah lain yang melakukan pemberontakan, pemerintah pusat melancarkan operasi untuk menumpas DI/TII Aceh.
Atas inisiatif Pangdam I bukit Barisan, kolonel Jasin, diadakanlah musyawarah dengan rakyat Aceh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam musyawarah itu, dibicarakanlah permasalahan dan kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya tercapai kesepakatan dan pemberontakan dapat diselesaikan secara damai.
5.DI/TII KALIMANTAN SELATAN
Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan disebabkan ketidakpuasan rakyat yang tergabung dalam Kesatuan Rakjat Jang Tertindas(KRJT) Kalimantan Selatan. KRJT yang dipimpin oleh Ibnu Hajjar pada tahun 1950 sering melakukan penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. Pada awalnya pemerintah masih memberi kesempatan kepada Ibnu Hajjar untuk menyerahkan diri secara baik-baik. Akhirnya Ibnu Hajjar menyerah.
Namun setelah merasa kuat dan banyak memiliki pengikut, Ibnu Hajjar kembali membuat kekacauan. Ia bergabung dengan Kartosuwiryo dan DI/TII. Iapun diangkat sebagai Panglima TII wilayah Kalimantan pada tahun1954.
Akhirnya TNI melakukan operasi penumpasan pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan. Pada tahun 1959 Ibnu Hajjar berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 22 Maret 1965.

B.PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948
Pada awal Januari 1948 Kabinet Amir Syarifudin dibubarkan.Presiden Sukarno menunjuk Muhammad Hatta untuk mengatur susunan kabinet baru. Namun Muhammad Hatta menyusun kabinet tanpa memasukkan seorangpun menteri dari golongan kiri(sosialis-komunis).
Pada bulan Agustus 1948 Musso, salah seorang tokoh pendiri PKI kembali dari Moskow. Ia bermukim di Moskow sejak tahun1926. Kembalinya Musso ke Indonesia membuat kebijakan baru bagi PKI. Kebijakan ini sering disebut jalan baru Musso9. Kebijakan Musso selanjutnya adalah menentang susunan kabinet Muhammad Hatta yang menurutnya telah menjual negara kepada imperialis Belanda.
Pertentangan politik ini berubah menjadi insiden bersenjata. Front Demokrasi Rakyat(FDR) bentukan PKI semakin meningkatkan kegiatan pengacauan. Di Solo misalnya, terjadi pemberontakan antara FDR/PKI dengan lawan-lawan politiknya dan bahkan dengan TNI.
Puncaknya adalah ketika PKI mengambil alih kekuasaan di Madiun. FDR/PKI lalu memproklamasikan berdirinya Negara Sovyet Indonesia pada 18 September 1948.
Selain di Madiun, PKI juga berhasil menguasai Pati, Jawa Tengah. Di Pati PKI juga membentuk pemerintahan baru. Sementara itu Musso menyerang pemerintah dan mengatakan bahwa Sukarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi kepada Inggris dan Belanda dan memprovokasikan bahwa negara tengah dijual kepada kapitalis.
Pemerintah segera mengambil tindakan untuk menumpas pemberontakan PKI dengan melancarkan Operasi Militer I yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution. Pada tanggal 30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh TNI. Dalam operasi itu, Musso berhasil ditembak mati, sementara Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

C.PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
Kondisi negara antara tahun 1950-1956 yang diharapkan sebagai awal pembangunan di segala bidang ternyata tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Kehidupan politik dan demokrasi tidak efektif, kabinet tidak bertahan lama karena sering jatuh sebelum menjalankan program-programnya. Selain itu orang-orang yang mendapat jabatan ternyata tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
Akhirnya, pada akhir 1956, dengan disponsori para perwira militer daerah, dibentuklah Dewan Banteng(Sumatera Barat), Dewan Gajah(Sumatera Utara), dan dewan Garuda(Sumatera Selatan), semacam pemerintah darurat di daerah masing-masing.10
Keadaan yang jauh dari memuaskan itu menjadi pemikiran sekelompok anggota TNI. Pada saat reuni Dewan Banteng di Sumatera Barat, peserta sepakat bahwa untuk melaksanakan pembangunan, potensi daerah harus digali sebanyak-banyaknya. Hasil reuni dilaporkan ke Jakarta oleh delegasi Dewan Banteng yang terdiri dari Dahlan Djambek, A. Halim, Sodi Baharudin, dan Ali Lubis.
Sebagai kelanjutan dari keputusan reuni tersebut, Letkol Ahmad Husain, selaku ketua Dewan Banteng mengambil keputusan untuk mengambil alih pemerintah daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956 karena Gubernur yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno dipandang kurang berhasil dalam membangun Sumatera Tengah. Selain di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utarapun melakukan hal yang sama.
Pada tanggal 9 Januari 1958 suatu pertemuan diselenggarakan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, yang dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Ventje Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir antara lain M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut membicarakan tentang pembentukan pemerintahan baru dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Hari berikutnya, pada tanggal 10 Januari 1958, Kolonel Achmad Husein berpidato didepan peserta rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Kolonel Achmad Husein memberikan ultimatum tegas kepada pemerintah pusat RI.11
Puncak pemberontakan terjadi ketika pada tanggal 15 Pebruari 1958 Achmad Husain memaklumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia(PRRI) dan mengusung Sjarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Proklamasi PRRI mendapat tanggapan dari wilayah Indonesia bagian timur. Pada tanggal 17 Pebruari 1958 Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan bergabung dengan PRRI dan putus hubungan dengan RI. Pemerintah segera bertindak menyelesaikan kasus ini dengan kekuatan senjata.
Maka, lima hari kemudian pesawat-pesawat AURI mengebom Padang, pusat pemberontakan. Lalu pertempuranpun pecah di berbagai daerah di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

OPERASI PENUMPASAN PRRI

Untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra segera disiapkan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur darat, laut, dan udara.
Pertama-tama, untuk menguasai daerah Riau, dilancarkan Operasi Tegas di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya. Kota Pekanbaru berhasil dikuasai pada tanggal 12 Maret 1958.
Untuk mengamankan daerah Sumatra Barat, dilancarkan operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada tanggal 17 April, Padang dapat dikuasai oleh pasukan Angkatan Perang dan pada tanggal 4 Mei menyusul kota Bukittinggi.
Sementara itu, di daerah Sumatra Utara dilancarkan operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jendral Djatikusumo. Untuk daerah Sumatera Selatan, dilancarkan Operasi Sadar dibawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutomo.
Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu per satu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer maupun sipil.
Dalam usaha penumpasan pemberontakan ini, patut dicatat mereka yang berada di daerah-daerah pemberontakan, tetapi tetap setia pada pemerintah, kepada Saptamarga, dan Sumpah Prajurit, antara lain Komisaris Polisi Kaharuddin Dt. Rangkajo Basa dan Mayor Nurmathias di Sumatra barat, Letnan Kolonel Djamin Ginting, dan Letnan Kolonel Wahab Makmur di Sumatera Utara, serta Letnan Kolonel Harun Sohar di Sumatera Selatan.12

OPERASI PENUMPASAN PERMESTA

Untuk memberantas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur, dilancarkan sebuah operasi gabumngan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian, yakni:

1.Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian tengah;
2.Operasi Saptamarga II di bawah pimpina Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi utara bagian selatan;
3.Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan sebelah utara Manado;
4.Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara;
5.Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.

Sebelum Operasi pokok itu dilancarkan, di Sulawesi tengah telah bergerak kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam operasi Insyaf yang Dikoordinasi oleh Komando Antar daerah Indonesia bagian timur (Koandait). Termasuk terdalam Operasi ini gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia kepada pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan kesatuan Polisi di bawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota Donggala dan Parigi, sedagkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Pasuka Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan pasukan-pasukan Operasi Spaptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi militer APRI di Indonesia bagian timur menghadapi perlawanan yang lebih berat dibandingkan dengan Operasi di Sumaera karena situasi daerah yang menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka yang cukup kuat. Namun, akhirnya Pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertegahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri, memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.13

D. GERAKAN 30 SEPTEMBER/G30S/GESTAPU/GESTOK
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965 dini hari di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut pemerintah Orde Baru sebagai usaha Kudeta Partai Komunis Indonesia.
Karena pemberontakan ini masih kontroversial, terutama seputar siapa dalang dibalik pemberontakan ini, maka penulis hanya akan menjelaskan seputar kronologis dan korban-korban gerakan ini.
Pada tanggal 30 September 1965 tengah malam terjadi penculikan





E. TERORISME DI INDONESIA

Terorisme di Indonesia dilakukan oleh grup teror Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan Al Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002
Jemaah Islamiyah atau Jamaah Islamiah adalah sebuah organisasi militan Islam di Asia Tenggara yang berupaya mendirikan sebuah negara Islam raksasa di wilayah negara-negara Indonesia, Singapura, Malaysia, dan negara lain di Asia Tenggara. Pemerintah Amerika Serikat menganggap organisasi ini sebagai organisasi teroris, sementara di Indonesia organisasi ini telah dinyatakan sebagai "korporasi terlarang"
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri:
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.

Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. 5 orang tewas.
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.

Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald’s, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)
Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.

Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.[1]

Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 7.00 WIB.[2]

0 comments:

Post a Comment