BAB 10 Dosa-dosa Besar
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".
Kata "ijtinab" bukan bermakna "tidak melakukan sesuatu [kemaksiatan]", namun ia bermakna "tidak mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan [kemaksiatan]". Dengan berlaku seperti itu, seorang individu muslim dapat membentengi dirinya dari godaan nafsu dan kemaksiatan.
Ayat-ayat yang mulia tadi menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tadi memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Seandainya manusia diciptakan sebagai makhluk "mekanik" tanpa dibekali kemampuan untuk melakukan pilihan pribadi, niscaya manusia akan terbebaskan dari beban untuk menentukan pilihan langkah itu.
Beban berat manusia timbul dari sikap arogansinya karena memiliki kemampuan lebih dari sekalian makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya.
Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan. Dan puas menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya. Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". Al Ahzaab: 72.
Manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.
Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Kemudian, ayat-ayat tadi memberikan informasi yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya penerang baginya yang menuntutnya dalam mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.
Allah SWT berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat mendekatkan dirinya dari dosa-dosa besar, niscaya Allah SWT akan memberikan balasan bagi tindakannya itu dengan menganugerahkannya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa kecilnya. Seluruh berita tadi memberikan ketenangan bagi jiwa manusia, sehingga ia tidak berputus asa saat ia terlanjur melakukan pilihan yang bodoh dan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Di sini, Allah SWT menjelaskan bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku mengetahui bahwa engkau lemah, karena engkau menghadapi pilihan dua titian jalan, kedua titian jalan itu menggodamu untuk memilih salah satunya. Yaitu titian jalan taklif 'beban' Allah yang mengandung kebaikan bagimu, dan pahala yang menunggu di ujung jalan itu. Hal ini menggoda dan mendorongmu untuk meniti jalan ini. Dan ada titian jalan syahwat dan kenikmatan yang instan. Ini juga menggodamu untuk memilihnya".
Ketika kedua jalan itu saling tarik menarik dalam diri manusia, maka saat itulah timbul kelemahan dalam dirinya. Oleh karena itulah Allah SWT menjelaskan: "Aku memaklumi apa yang terjadi pada dirimu itu, karena hal itu adalah hasil logis akibat adanya potensi pilihan bebas yang engkau miliki itu. Dan Aku-lah yang telah memberikan potensi itu kepadamu".
Allah SWT saat menganugerahkan kepada manusia, sang makhluk yang berkuasa atas makhluk lain di dunia ini, potensi untuk melakukan pilihan bebas itu; akan amat senang jika manusia datang dan bersimpuh di hadapan Rabb-nya dengan sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya. Karena terdapat perbedaan secara diametral antara makhluk yang telah diprogram untuk tunduk kepada Allah SWT dan berjalan mengalir sesuai ketetapan yang telah dibuat oleh Allah SWT; sehingga makhluk seperti ini tidak diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan makhluk yang diberikan pilihan bebas untuk tunduk atau tidak, dan untuk taat dan tidak. Oleh karena itu, dengan potensi kemampuan manusia untuk melakukan pilihan bebas itu, Allah SWT menghendaki manusia untuk tunduk kepada-Nya sesuai dengan kehendak hatinya secara jujur, dan memilih untuk taat kepada Allah SWT dengan dorongan keimanannya itu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".
Di sini, seakan-akan Allah SWT menjelaskan tentang beban-beban hukum yang telah diembankan-Nya kepada manusia; seperti menjaga diri dari mencemarkan nama baik orang lain, menjaga diri dari memakan harta orang lain dengan cara yang diharamkan, menjaga diri dari membunuh manusia dan sebagainya; dengan penjelasan sebagai berikut: "Saat menghadapi suatu kenyataan yang mengecewakan [seperti terlanjur mengerjakan suatu dosa kecil, misalnya], hendaknya kalian tidak bersikap putus asa, karena Aku akan menutupi dosa-dosa kecil kalian jika kalian meninggalkan dosa-dosa besar: ibadah shalat ke ibadah shalat yang lain adalah menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara keduanya, shalat jum'at ke shalat jum'at yang berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara kedua masa itu, dan dari satu ibadah puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi penghapus bagi dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan pada masa di antara keduanya. Namun dengan syarat kalian tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil, bayangkanlah jika tiba-tiba engkau meninggal dunia sebelum sempat beristighfar dan bertaubat atas dosa itu. Oleh karena itu, janganlah engkau berkata: "aku akan lakukan dosa [kecil ini] dan nantinya aku akan beristighfar dan bertaubat". Hal itu tidak terjamin dapat dilakukan olehmu, pada saat yang sama engkau juga seperti sedang mengejek Tuhan-mu.
"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)"... yakni dosa-dosa kecil, Allah SWT berfirman: "niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". Dan seperti telah kami katakan: pengertian kata "al kufr" adalah "as satru" 'penutup', artinya Allah SWT akan menutupi dosa-dosa kecil itu. Dan makna Kami akan menutupinya artinya, Kami tidak akan memberikan hukuman atasnya. Istilah "takfiir" bermakna menghilangkan siksa atasnya. Sedangkan istilah "ihbaath" bermakna menghilangkan dan menggugurkan pahalannya.
Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil yang membuat dia berhak dijatuhi hukuman, namun ia meninggalkan dosa-dosa besar, maka Allah SWT akan menutupi dan menghapuskan hukuman itu dari dirinya. Sedangkan jika seseorang melakukan amal kebaikan, namun Allah SWT tidak menerima amalnya itu, maka berarti Allah SWT tidak memberikan pahala atas amal itu kepadanya. Dengan demikian, istilah "takfiir" --seperti telah kami katakan tadi-- adalah menghilangkan hukuman. Sementara istilah "ihbaath" bermakna: menghilangkan balasan pahala. Seperti terdapat dalam firman Allah SWT.
"Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya". (Al Baqarah: 217).
Artinya, mereka tidak mendapatkan pahala atas amal kebaikan yang mereka lakukan itu; karena saat mereka mengerjakan amal kebaikan itu, mereka tidak meniatkannya untuk Allah SWT, Yang akan memberikan pahala atas amal mereka itu. Namun mereka meniatkannya untuk mendapatkan pujian dari manusia. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda:
"Engkau mengerjakan amal perbuatan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu pun telah engkau dapatkan [sehingga engkau tidak lagi berhak mendapatkan pahala dari Allah SWT]".
Engkau mengerjakan amal kebaikan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah engkau dapatkan. Misalnya masyarakat memuji: "engkau adalah orang yang amat dermawan". Atau mereka berkata: "hebat sekali, engkau telah membangun masjid". Dan mereka juga membaca spanduk yang tertulis saat peresmian masjid itu, bahwa engkaulah yang telah menyumbang bagi pembangunan masjid itu.
Allah SWT berfirman:
"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan". (Al Furqaan: 23).
Engkau melakukan suatu amal kebaikan hanya semata untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah engkau dapatkan [sehingga tidak berhak lagi mendapatkan pahala dari Allah SWT]; oleh karena itu, orang yang menulis namanya besar-besar di masjid itu, hendaknya memperhatikan hal ini. Dan bagi orang yang ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT, hendaknya segera menghapus namanya itu, sehingga harapannya untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT dapat terwujud. Karena Allah SWT amat senang jika orang yang memberikan derma atau shadaqah, bertindak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw tentang tujuh macam orang yang mendapatkan naungan Allah SWT pada hari kiamat nanti, saat tidak ada naungan selain naungan Allah SWT, di antara mereka adalah:
"Seseorang yang memberikan sadaqah dengan cara sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disadaqahkan oleh tangan kanannya itu".
Saat engkau memberikan shadaqah kepada seseorang, mengapa engkau perlu membuka identitas diri orang yang menerima derma dan shadaqahmu itu?.
Sementara Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi". kata "ijtinaab" bermakna: memberikan sesuatu dari samping [dengan tidak mencolok]. Dan yang dimaksud dengan redaksional: "in tajtanibuu" bermakna: jika kalian menjauhkan diri kalian. Dan saat Allah SWT memerintahkan engkau agar tidak melakukan sesuatu perbuatan, kemudian perintah itu disampaikan dalam bentuk yang lain, yakni dengan perintah agar menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu, hal ini menunjukkan bahwa tekanan larangan itu menjadi lebih besar. Karena perintah untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu bermakna engkau diperintahkan untuk tidak berada di tempat yang sama dengan sesuatu yang dilarang untuk dikerjakan itu.
Saat Allah SWT berfirman: "maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu". (Al Hajj: 30)
dan saat Allah SWT berfirman:
"dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". Al Hajj: 30)
Perintah "ijtanibuu" dalam ayat itu bermakna: menjauhlah darinya. Mengapa? Karena batasan-batasan Allah SWT yang tidak boleh dilanggar adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.
Rasulullah Saw bersabda:
"Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya adalah perkara-perkara yang syubhat [yang tidak jelas] yang tidak diketahui oleh [hakikat hukumnya] oleh banyak manusia. Maka orang yang menghindarkan diri dari perkara yang syubhat, berarti ia telah menjaga nama baiknya dan agamanya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara yang syubhat, maka ia dipastikan akan segera jatuh dalam keharaman. Perumpamaannya adalah seperti seseorang yang menggembala di pinggir kebun, ia amat dekat untuk memasuki kebun itu. Dan setiap kerajaan memiliki batas-batas yang tidak boleh dilangkahi, dan batas-batas Allah SWT di atas permukaan bumi ini adalah apa-apa yang diharamkan-Nya".
dan Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).
Cara penjauhan diri dari perbuatan yang dilarang itu adalah dengan tidak menempatkan diri dalam satu tempat bersama dengan sesuatu yang dilarang itu, karena dikhawatirkan akan mendorongmu untuk memikirkannya, menganggu konsentrasimu dan hal itu akan terbayang-bayang dalam pikiranmu. Misalnya saat engkau berada di tempat orang minum minuman keras, saat itu Allah SWT memerintahkan kepadamu: jauhilah tempat itu.
Artinya: jangan dekati tempat itu. Karena jika engkau berada di tempat orang minum minuman keras itu, dan engkau melihat orang yang sedang minum itu tampak gembira dan amat menikmati minumannya, hal itu bisa saja mendorongmu untuk turut meminumnya. Sedangkan jika engkau menghindarkan diri dari minuman keras, dan tidak mendekat tempat meminum minuman keras itu, maka engkau terjaga dari godaan-godaan seperti itu. oleh karena itu kami katakan: perintah untuk menjauhkan diri dari sesuatu itu, makna redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari larangan atas sesuatu itu sendiri. Ada orang yang beralasan bahwa minuman keras itu tidak diharamkan, dan berkata: meminum minuman keras itu tidak pernah dilarang oleh sesuatu nash agama yang pasti!. Bagi orang seperti ini kami menjawab: ingatlah, meminum minuman keras itu disejajarkan dengan penyembahan berhala.
Allah SWT berfirman:
"dan jauhilah Thaghut itu". (An Nahl: 36).
Perintah untuk menjauhkan diri dari berhala itu tidak semata larangan untuk menyembah berhala itu, namun juga berisi larangan untuk melihat dan mendekatinya. Dengan demikian, perintah untuk menjauhkan diri dari minuman keras itu tidak semata larangan untuk meminumnya, namun juga perintah agar tidak mendekatinya. Kata "al kabaair" adalah bentuk plural dari kata "kabiirah" 'dosa besar'. Dan jika ada "kabiirah" 'dosa besar' berarti ada "shagiirah" 'dosa kecil' dan "ashgar" 'dosa paling kecil'. Dosa yang lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar' tidak semata "shagiirah" 'dosa kecil' saja, namun juga termasuk dosa yang lebih kecil dari dosa kecil itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan kekhilafan'.
Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". "as Sayyiaat" 'Dosa-dosa kecil' berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang ringan atau yang paling ringan. Namun tentang hal ini, para ulama memberikan catatan penting, yakni: hal itu tidak berarti Allah SWT membolehkan manusia untuk melakukan dosa-dosa kecil itu, selama mereka menjauhkan diri dari dosa besar. Karena perbuatan dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dan dengan kesengajaan, juga termasuk bagian dari dosa besar. Oleh karena itu jangan engkau lakukan perbuatan dosa kecil, karena Allah SWT hanya menghapuskan dosa kecil yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena kekhilafan. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera". (An Nisaa: 17),
yakni jika mereka mengerjakan dosa-dosa kecil itu dengan tanpa sengaja, dan karena kekhilafan semata.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18)
Dengan demikian, jika engkau melakukan dosa kecil dengan sengaja dan secara terus menerus, maka dosa kecil itu berubah statusnya menjadi dosa besar. Kemudian, jika kita tidak menjauhkan diri dari dosa besar, dan kita juga melakukan dosa kecil, apa yang akan terjadi? Para ulama berpendapat: di antara bentuk kasih sayang Allah SWT terhadap manusia adalah ketentuan berikut ini: tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakunya terus melakukan perbuatan dosa kecil itu secara sengaja.
Jika engkau mengambil hal tadi, maka ambillah dua ketentuan ini, yakni tidak ada istilah dosa besar selama pelakunya melakukan taubat dan beristighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakukan terus melakukan perbuatan dosa itu dengan sengaja. Dan tentang definisi dosa besar, para ulama berpendapat sebagai berikut: dosa besar adalah suatu perbuatan yang pelakunya diberikan ancaman oleh Allah SWT akan dijatuhi adzab di akhirat nanti, atau suatu perbuatan yang diancam akan dikenakan hadd. Sedangkan suatu perbuatan dosa yang tidak diancam akan dikenakan hadd, maka perbuatan itu termasuk dalam dosa kecil yang akan diampuni jika pelakunya menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar, atau dosa kecil, atau dosa yang paling kecil.
Tanya, “Bolehkah kita memberi penilaian pada sebuah maksiat yang dulu belum pernah ada sebagai dosa besar?”
Jawab:
Tidaklah diragukan bahwa dosa itu ada dua macam, dosa besar dan dosa kecil.
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” (QS an Nisa’:31).
Namun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah dosa besar. Ada yang berpendapat tujuh, tujuh puluh dan tujuh ratus. Ada pula yang mengatakan bahwa dosa besar adalah semua perbuatan yang dilarang dalam syariat semua para nabi dan rasul.
Pendapat yang paling kuat tentang pengertian dosa besar adalah segala perbuatan yang pelakunya diancam dengan api neraka, laknat atau murka Allah di akherat atau mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama menambahkan perbuatan yang nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau nabi mengataan ‘bukan golongan kami’ atau nabi berlepas diri dari pelakunya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghunuskan pedang kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan golongan kami” (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami” (HR Muslim).
Mencuri adalah perbuatan yang memiliki hukuman had yaitu potong tangan maka muncuri adalah dosa besar. Zina juga memiliki hukuman had sehingga termasuk dosa besar. Membunuh juga dosa besar. Namimah atau adu domba juga dosa besar karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang melakukan namimah itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari dan Muslim).
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS an Nisa’:10). Dalam ayat ini ada ancaman neraka bagi orang yang memakan harta anak yatim sehingga perbuatan ini hukumnya dosa besar.
[Disarikan dari Ajwibah Mufidah an Masa-il Adidah karya Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi hal 1-4].
0 comments:
Post a Comment